TAPIN, Kalimantan Selatan - Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jembatan Ruas Tarungin – Asam Randah Tahun Anggaran 2024 kini mengemuka, menyeret dua terdakwa utama: Aulia Rahman, S.T. selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Noor Muhammad, Direktur CV. Cahaya Abadi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkap adanya pelanggaran dan kelalaian kolektif yang merugikan keuangan negara hingga Rp 1.523.351.143, 64.
Perbuatan melawan hukum ini diduga berlangsung sejak Agustus 2024 hingga Januari 2025. Terdakwa Aulia Rahman, sebagai PPK, dinilai abai dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam mengendalikan kontrak dan mengevaluasi kinerja penyedia jasa, sebuah kewajiban yang tertera jelas dalam Pasal 11 ayat 1 Perpres 12/2021.
Terungkapnya kasus ini membuka tabir jaringan persekongkolan yang melibatkan sejumlah pihak. Selain Aulia Rahman dan Noor Muhammad, nama KPA Noorcipta Ningsih, S.T., PPTK M. Yudha Dwi Rizki, serta Kontraktor Lapangan Ridani turut disebut dalam pusaran dugaan praktik ilegal ini.
Modus operandi yang terungkap cukup mencengangkan. Terdakwa PPK dan KPA diduga mengetahui adanya kesepakatan bahwa CV. Cahaya Abadi hanya dijadikan 'kendaraan' oleh Ridani, seorang kontraktor tanpa kapasitas memadai. Untuk itu, Ridani harus membayar 'fee' sebesar Rp 25 Juta kepada Noor Muhammad.
Kontrak pembangunan jembatan senilai Rp 4, 949 Miliar diteken pada 22 Agustus 2024. Setelah dokumen penting seperti Garansi Bank Kalsel senilai Rp 247 Juta dan Jaminan Uang Muka sebesar Rp 1, 48 Miliar diserahkan, KPA Noorcipta Ningsih dengan sigap menyetujui pencairan uang muka sebesar 30%. Dana sebesar Rp 1.314.394.873 (setelah dipotong pajak) dicairkan pada 02 September 2024 ke rekening CV. Cahaya Abadi. Ironisnya, dana tersebut langsung ditransfer oleh Noor Muhammad kepada Ridani, setelah dipotong fee Rp 25 Juta.
Kelalaian Aulia Rahman dalam mengawasi pekerjaan berdampak fatal pada kemajuan fisik proyek yang dilaporkan nihil. Data menunjukkan, pada minggu pertama hingga ketiga, proyek yang seharusnya menunjukkan progres antara 0, 23% hingga 13, 74%, justru masih berada di angka 0, 00%. Kondisi ini kian memburuk. Pada minggu kedelapan (18 Oktober 2024), progres yang ditargetkan mencapai 55, 34% hanya terealisasi 1, 09%, menciptakan deviasi parah sebesar - 54, 25%. Puncaknya, hingga akhir masa kontrak pada 19 Desember 2024, target 100% pekerjaan hanya terselesaikan 7, 73%, menyisakan defisit mencapai - 92, 27%.
Meskipun Surat Peringatan I (20 September 2024) dan Surat Peringatan II (18 Oktober 2024) telah dilayangkan oleh PPK, KPA, dan PPTK, instruksi untuk mempercepat pekerjaan seolah tak terdengar oleh Ridani dan Noor Muhammad.
Lebih miris lagi, ketika kontrak berakhir dengan progres yang sangat minim, Terdakwa PPK bersama KPA justru memberikan perpanjangan waktu hingga 08 Februari 2025. Tindakan ini terang-terangan melanggar Pasal 10 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109 Tahun 2023, yang mensyaratkan minimal 50% progres fisik untuk bisa diberikan kesempatan penyelesaian di tahun berikutnya.
Hasil pemeriksaan ITS Surabaya memperparah gambaran kondisi proyek. Pekerjaan dilaporkan hanya terselesaikan sebesar 5, 97%, dengan mutu beton yang jauh dari spesifikasi 30 MPa.
Aulia Rahman baru mengeluarkan Surat Keputusan Pemutusan Kontrak pada 31 Januari 2025. Namun, kelalaian fatal disebut terjadi justru setelah pemutusan kontrak tersebut.
Kini, para terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagai dakwaan primer, dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor sebagai dakwaan subsidair, serta Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (PERS)

Updates.